Jumat, 25 Juni 2010

MAQAMAT DALAM TASAWUF

MAQAMAT DALAM TASAWUF

I. PENDAHULUAN
Sufisme atau tasawuf mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina dan membangun psikologi dan pribadi muslim melalui takhalliyyah al-nafs, tahalliyyah al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam mencapai kejernihan, kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan kepribadian muslim dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat perjalanan dalam tasawuf adalah seperti taubah, zuhd, sabr, tawakkal, ridha, mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa, ikhlas, syukr dan ma`rifah.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Al-Maqamat Dalam Sufisme
2. Tingkatan Maqamat
III. PEMBAHASAN
1. AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt, melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu.
Tazkiyyah al-nafs adalah proses beralihnya jiwa yang kotor, ternoda dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi menyucikan, peralihan daripada keadaan yang tidak menurut syariat kepada keadaan yang menempati syariat, daripada hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, daripada munafik menuju sifat jujur, amanah dan fatanah, kebakhilan bertukar kepada pemurah, sifat dendam berganti dengan pemaaf, tawaddu`, tawakkal serta terkawal.
Kebersihan jiwa akan membawa kepada kondisi batiniah yang bebas daripada nilai-nilai negatif yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas daripada nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai dan dicintai oleh masyarakat sekitar serta diridhai Allah SWT.
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada malam, hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk shalat malam) sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat terpuji.”

Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.
Amalan-amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqam yang terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Allah swt, mendapat kecintaan dan keridhaan daripada-Nya. Hasil daripada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah kehidupan yang positif, terutama nya terhadap kondisi batin.
Seorang sufi akan merasa khawf (khuatir), tawaddu, taqwa (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah swt), shukr (berterima kasih kepada Allah swt), dan mutma’innah (ketenteraman) akan melahirkan integrasi diri, antara diri dengan orang lain dan diri dengan alam lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) daripada Allah sebagai Pencipta.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya.
Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut. Tahapan-tahapan atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama diantara ahli-ahli sufi, namun mereka sependapat bahwa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah taubah.

2. TINGKATAN MAQAMAT
1. Maqam Taubah
Taubah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Taubah juga merupakan sebuah term yang dikembangkan para salikin (orang-orang menuju Tuhan) untuk mencapai maqamat berikut yang akan diuraikan selepas ini.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.

2. Maqam Zuhd
Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatakan kemauan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).
Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan: “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Allah yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahwa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.

3. Maqam Sabr
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hambal perkataan sabar disebut dalam al-Qur’an pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabar ini wajib dan merupakan bagian dari shukr.
Sabar dalam pengertian bahasa adalah “Menahan atau bertahan”. Jadi sabar sendiri adalah “Menahan diri daripada rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah daripada keluh kesah serta menahan anggota tubuh daripada kekacauan”.
Sabar juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan dan larangan maupun dalam bentuk perlakuan orang lain serta sikap menghadapi sesuatu musibah.
Sabar merupakan sifat yang secara holistik harus dimiliki oleh seorang sufi. Sabar sendiri tidak mengenal bentuk ancaman dan ujian. Seorang sufi semestinya berada dalam ketabahan dan kesabaran yang utuh. Sabar mempunyai nilai psikologi yaitu setelah seorang sufi menjalani maqam zuhd sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dan dia boleh memperkuat nilai-nilai zuhd tersebut.


4. Maqam Tawakkal
Dalam pergaulan sehari-hari, sering didengar dan dijumpai ucapan-ucapan bahwa kita bertawakkal kepada Allah SWT. Makna daripada tawakkal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah swt, setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri.
Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan bersabar serta tidak resah dan gelisah.
Sari al-Saqati mengatakan: “Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam”.
Penyerahan diri kepada Allah SWT artinya menyerahkan segala urusan pada takdir Yang Maha Kuasa yaitu selepas seorang yang bertawakkal menjalani maqamat, tawbah, zuhd, mahabbah dan sabr. Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt meyakini kekuasaan dan kekuatan-Nya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya.
Tawakkal sendiri bukanlah bermakna seseorang itu akan bersikap pasif dan bersemangat melarikan diri daripada kenyataan hidup. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya daripada pribadi yang benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakkal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Allah SWT.
Allah berfirman yang bermaksud: “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, Tuhan kamu. Tidak ada sesuatu yang melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang menguasainya. Sungguh Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
“Hukum (keputusan) itu tidak ada melainkan bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal (menyerahkan diri) dan hendaklah bertawakkallah kepada-Nya wahai orang-orang yang tawakkal.”
“Kepada Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu orang yang beriman.”

5. Maqam Ridha
Ridha adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Allah swt atas hamba-Nya daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman yang artinya: “Dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga ‘adn.”
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapnya.”
Bagi al-Ghazali kelebihan ridha Allah SWT merupakan manifestasi daripada keridhaan hamba.
Ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela diatas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini. Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”

6. Maqam Mahabbah
Secara harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih yaitu Allah SWT.
Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta Ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya. Cinta adalah sesuatu yang membawa orang kepada keridhaan Ilahi. Bagi merealisasikan cinta, orang mudah mengorbankan apa saja asal dengan pengorbanan itu dia sampai kepada tujuan cintanya. Oleh kerana itu cinta sering diartikan sebagai berikut:
a. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawanNya;
b. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi;
c. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang dikasihi.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahwa sesuatu yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi. Sufi terkenal Rabi`ah al-`Adawiyyah mengucapkan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerana takut kepada neraka Bukan pula kerana masuk syurga Tetapi aku mengabdi kerana cintaku kepadanya Tuhanku, jika kupuja Engkau kerana takut pada neraka Bakarlah aku di dalamnya Dan jika kupuja Engkau kerana mengharapkan syurga Jauhkan aku daripadanya Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata kerana Engkau Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu daripadaku.”
Cinta bagi Rabi`ah bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri, tetapi juga lebih daripada itu dimana beliau mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Allah pernah menyentuh masalah cinta ini didalam al-Qur’an dimana ada diantara manusia yang tegar menyembah dan mencintai selain daripada-Nya sedangkan Allah saja yang berhak disembah dan dicintai.
Allah menguraikan perkara tersebut dalam firman-Nya yang Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat siksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).”

Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat diatas adalah cinta yang sebenarnya; bahwa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah dibandingkan kecintaan terhadap selain-Nya. Cintanya itu benar-benar utuh dan tidak berbelah serta tidak bercampur dengan selain-Nya.

7. Maqam Ma`rifah
Ma`rifah (‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma`rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan kepada panggilan hati melalui pelbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang diperoleh dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang terus-menerus.
Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Allah swt, dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya berdasarkan pengetahuan Allah.
Ma`rifah dalam spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiyyah (Ketuhanan), kerana ma`rifah ini adalah tingkat tertinggi daripada pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenali Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Allah tanpa batasan. Ia meyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Allah. Oleh itu, dia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan dan beramal soleh.
Para sufi menyebut ma`rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seseorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karana itu mereka mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalahAllah.
2. Apabila dia melihat cermin yang dilihatnya juga adalah Allah.
3. Ketika bangun maupun tidur yang dilihatnya ialah Allah.
4. Allah tidak boleh dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk material tidak akan sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah.
Pada prinsipnya ma`rifah dalam tazkiyyah al-nafs adalah sebuah intuisi bawah sadar manusia yang diperolehnya hasil daripada ketajaman mata hati setelah menjalani tahapan-tahapan dan latihan-latihan kerohanian secara optimal. Melalui perjalanan yang panjang ini, Allah dengan rahmat-Nya memberikan ma`rifah tersebut kepada mereka yang sanggup menerimanya.

IV. KESIMPULAN
1. AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt, melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu.
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada malam, hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk shalat malam) sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat terpuji”.

Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.

2. TINGKATAN MAQAMAT
1. Maqam Taubah
Taubah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.

2. Maqam Zuhd
Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatakan kemauan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).

3. Maqam Sabr
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.

4. Maqam Tawakkal
Makna daripada tawakkal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah swt, setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri.
Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.

5. Maqam Ridha
Ridha adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Allah swt atas hamba-Nya daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut.
Ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”

6. Maqam Mahabbah
Secara harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih yaitu Allah SWT.

7. Maqam Ma`rifah
Ma`rifah (‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma`rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan kepada panggilan hati melalui pelbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang diperoleh dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang terus-menerus.
Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Allah swt, dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya berdasarkan pengetahuan Allah.

V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar