Jumat, 25 Juni 2010

PENGERTIAN WUDHU DAN HUKUM-HUKUMNYA

PENGERTIAN WUDHU DAN HUKUM-HUKUMNYA
I. PENDAHULUAN
Ilmu fiqih merupakan salah satu ilmu yang tidak dapat kita hindari dalam kehidupan kita sehari-hari. terutama dalam aspek ibadah contoh kecilnya saja adalah shalat, semua orang muslim berkewajiban melaksanakan shalat satu hari satu malam sebanyak lima kali, sedangkan untuk mendapatkan shalat yang syah menurut syara’ orang terlebih dahulu harus berwudlu. Dari sinilah saya akan mencoba berusaha menguraikan “apakah sebenarnya wudlu itu dan bagaimanakah hukumnya” ,tapi perlu diketahui bahwa saya akan menguraikan hal tersebut berdasarkan dengan kitab fiqih yang berjudul “al fiqh al islamiyyah”. Untuk lebih jelasnya mari kita baca dengan seksama resuman di bawah ini.

II. POKOK MASALAH
A. Pengertian wudlu
B. Macam-macam hukum wudlu

III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Wudlu
Wudlu menurut bahasa adalah nama untuk suatu pekerjaan maksudnya menggunakan air pada anggota tertentu, adapun jika kata wudlu di baca wadlu maka artinya adalah air yang digunakan untuk berwudlu. sedangkan wudlu menurut syara’ adalah menggunakan air yang suci pada anggota tertentu (wajah, kedua tangan sampai siku-siku,rambut kepala, kedua kaki sampai mata kaki) yang diawali dengan niat dan dengan cara yang sudah ditentukan oleh syara’. Hukum asal wudlu’adalah fardlu, karena merupakan syarat syah shalat. Hal ini berdasarkan firman allah swt yang artinya “hai orang-orang yang beriman jika kamu sekalian akan mendirikan shalat maka basulah muka, kedua tangan sampai siku-siku, usaplah sebagian kepala dan basulah kedua kaki sampai mata kaki” dan berdasarkan hadist nabi Muhammad saw “ allah tidak akan menerima shalat diantara kalian ketika kalian sedang dalam keadaan hadast sampai kalian berwudlu. Sedangkan menurut kesepakatan ulama’ wudlu itu hukumnya wajib.
Wudlu difardlukan di kota madinah sebagaimana orang-orang yang telah menyatakan penjelasanya. Adapun hikmah dari membasuh anggota empat tadi sangatlah banyak diantaranya adalah untuk menghilangkan kotoran dan debu pada anggota yang dibasuh.
B. Macam-Macam Hukum Wudlu
Terkadang karena sesuatu hal wudlu itu hukumnya bisa menjadi mandub, wajib atau mamnu’, maka karena hal ini ulama’ fiqih membaginya menjadi beberapa macam beserta alasanya. Ulama’ hanafi berpendapat bahwa wudlu itu mempunyai lima hukum diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Fardlu
a) Bagi orang yang berhadast kecil ketika hendak melaksanakan shalat baik itu shalat fardlu, shalat sunnah, shalat yang sempurna maupun yang tidak sempurna seperti shalat janazah dan sujud tilawah, hal ini berdasarkan firman allah swt dan hadist nabi Muhammad saw yang sudah di sebutkan diatas.
b) Karena mau menyentuh al qur’an walaupun ayat al qur’an itu ditulis diatas dedaunan, pagar/tembok, atau diatas uang. hal ini berdasarkan firman allah swt “tidak boleh menyentuhnya (al qur’an) kecuali orang-orang yang suci” dan sabda nabi saw “tidak boleh menyentuh al qur’an kecuali orang yang suci”.
2. Wajib
a) Karena hendak towaf disekeliling ka’bah, jumhur ulama’ selain hanafi berpendapat bahwa dalam hal ini wudlu hukumnya fardlu, hal ini berdasarkan hadist nabi Muhammad saw “towaf di baitullah itu hakikatnya seperti shalat, kecuali jika allah menghalalkan berbicara didalamnya, barang siapa yang berbicara ketika towaf maka dia tidak boleh berbicara kecuali yang baik- baik.
b) Dalam hal ini Ulama’ Hanafi berpendapat bahwa: Apabila towaf itu tidak seperti shalat di dalam hakikatnya maka syahnya towaf tidak hanya harus suci, kemudian jika meninggalkanya, maka harus maembayar fidyah, unta badanah jika dalam keadaan hadast besar (junub), memberi sedekah didalam towaf sunnah sebab meninggalkan wudlu.

3. Mandub
ketika dalam keadaan yang sangat banyak diantaranya adalah sebagi berikut :
a) Berwudlu setiap kali akan mengerjakan shalat, hal ini berdasarkan hadist nabi Muhammad saw “ jikalau aku tidak memberatkan atas umatku sungguh aku akan menyuruh mereka ketika setiap kali akan shalat dengan satu wudlu, dan setiapkali wudlu dengan bersiwak” dan di sunahkan mengulangi wudlu ketika wudlu yang awal itu sudah digunakan untuk melaksanakan shalat baik itu shalat fardlu maupun shalat sunnah , karena wudlu yang demikian ini adalah bagaikan cahaya diatas cahaya, akan tetapi jika wudlu itu belum digunakan untuk melaksanakan amal yang di maksudkan oleh syara’, maka wudlu seperti itu hukumnya berlebihan atau melampaui batas. karena ada sabda nabi saw “barang siapa wudlu dalam keadaan suci maka baginya ditulis sepuluh kebaikan”. Hal ini sebagai mana hadis yang di riwayatkan oleh ibnu majah, al hakim, ahmad dan al baihaqi dari tsauban “istiqomalah kamu dan janganlah kamu menghitungnya, ketahuilah bahwa sebaik-baik amal kalian adalah shlat dan tidak ada orang yang mau menjaga wudlu kecuali orang yang mu’min (beriman).
b) Menyentuh kitaba-kitab syari’ah diantaranya :kitab tafsir, hadis, i’tiqod, fiqih dan semislnya. Akan tetapi jika al qur’an itu lebih banyak dari pada tafsirnya maka hukumnya haram menyentuhnya.
c) Karena akan tidur dan setelah bangun tidur, hal ini berdasarkan sabda nabi saw “ketika anda akan tidur maka berwudlulah sebagaimana anda wudlu ketika akan melaksanakan shalat, kemudian berbaringlah menghadap kanan dengan membaca do’a “ya allah aku serahkan jiwaku kepadamu , aku hadapkan wajahku kepadamu, aku serahkan urusanku kepadamu, aku baringkan punggung ku kepadamu, tidakada tempat untuk berlindung dan menyelamatkan dari mu kecuali kepada mu, aku beriman kitab yang telah engkau turunkan dan kepada nabi yang telah engkau utus.
d) Sebelum mandi jinabah, bagi orang yang junub ketika hendak makan, minum, tidur dan ingin melakukan bersenggama lagi. Hal ini berdasarkan as sunnah “aisyah berkata: nabi saw ketika dalam keadaan masih hadas besar kemudian beliau ingin makan atau tidur maka beliauberwudlu terlebih dahulu” aisyah juga berkata lagi “rosulullah ketika hendak tidur dan beliau dalam keadaan hadas besar maka beliau membasuh farjinya kemudian berwudlu sebagaimana wudlu beliau ketika hendak melaksanakan shalat”. Abu sa’id al khudri berkata: “ketika diantara kalian sudah melakukan hubungan intimdengan istri kalian, kemudian hendak mengulanginya lagi maka berwudlulah kalian.
e) Setelah kemarahan memuncak, karena wudlu itu dapat memadamkannya. imam ahmad telah meriwyatkan dalam musnadnaya “ketika diantara kalian dalam keadaan marah maka berwudlulah kalian”.
f) Karena hendak membaca al qur’an, mempelajari hadis dan riwayatnya, memuthola’ah kitab-kitab syara’. imam malik ketika hendak menulis hadis dari rasulallah saw beliau wudlu terlebih dahulu karena memuliakanya.
g) Karena hendak menguimandangkan adzan dan iqomah, menyampaikan khutbah walaupun khutbah pernikahan, ziyarah ke makam nabi saw, wuquf di arafah, melakukan sa’i diantara shofa dan marwa sebab tempat –tempat itu adalah tampat untuk beribadah.
h) Setelah melakukan kesalahan, diantaranya adalah: mengungkit-ungkit kesalahan orang lain, berbohong, mengadu domba orang lain dan yang semisalnya. Karena kebaikan itu dpat menghapus kesalahan. Nabi saw bersabda: “ingatlah !saya akan menunjukkan kamu sekalian tentang sesuatu yang allah itu akan menghapus dengannya segala kesalahan, dan allah akan mengankat dengannya beberapa derajat? Para shahabat menjawab: ya, rasulullah. Nabi bersabda: “sesuatu itu adalah menyempurnakan wudlu atas apa yang tidak disenangi, memperbanyak pergi ke masjid dan menanti shalat setelah mengerjakannya.
i) Selesai memandikan mayat dan memikulnya, hal ini berdasarkan hadis nabi saw: “barang siapa yang meamandikan mayat maka mandilah dan barang siapa yang membawa mayat maka berwudlulah”
Hendak keluar dari perselisihan para ulama’ sebagai mana ketika menyentuh perempuan atau menyentuh kemaluannya dengan telapak tangan, setelah makan daging yang baunya tidak enak.
4. Makruh
Seperti halnya mengulangi wudlu sebelum melakukan sholat dengan wudlu yang pertama. Maksudnya adalah wudhu diatas wudlu itu hukumnya makruh. Jika mau berpindah majlis, selama wudlu itu belum digunakan untuk melakukan sholat atau yang semisalnya.
5. Haram
Seperti berwudlu dengan menggunakan air ghosob atau air yang sedikit sehingga diperbolehknnya melakukan tayamum. Ulama’ hanbali berpendapat : wudlu tidak akan syah bila menggunakan air ghosob, karena ada hadis nabi saw “barang siapa yang beramal sedang amal itu tidak pernah aku lakukan maka ia ditolak”
Menurut ulama’ maliki wudlu juga mempunyai llima hukum yaitu : wajib, mustahab, sunnah, mubahdan mamnu’.
 wudlu yang wajib adalah wudlu karena akan melakukan shalat fardlu, shalat sunnah, sujud tilawah, shalat janazah, menyentuh mushaf al qur’an dan melakukan towaf.
 Wudlu yang sunnah adalah wudlunya orang yang sedang berhadast besar karena hendak tidur.
 Wudlu yang mustahab adalah wudlu yang di lakukan setiap kali akan melakukan shalat, wudlunya orang yang sedang mengalami haid dan orang sedang di landa penyakit beser, kemudian karena hendak mendekatkan diri karena allah, membaca al qur’an, berdzikir, berdo’a, mencari ilmu dan karena akan ada sesuatu hal yang ditakuti seperti: adanya badai laut yang akan melanda daratan, akan menemui seorang raja ( pimpinan, bapak kyai, dosen dan orang yang lebih tua dari pada kita ) dan bahkan akan menemui rakyat atau masyarakat.
 Wudlu yang mubah adalah wudlu karena bertujuan untuk menjaga kebersihan dan kesejukan ( pada bagian wajah khususnya ).
 Wudlu yang di larang adalah wudlu yang dilakukan secara terus-menerus sebelum wudlu terssebut digunakan untuk melakukan suatu ibadah.
Ulama’ syafi’i, hambali, hanafi dan maliki telah sepakat bahwa hal-hal yang di sunahkan untuk berwudlu diantaranya adalah : membacsa al qur’an atau al hadis, mempelajari berbagai ilmu, akan masuk ke dalam masjid, duduk di masjid, keluar dari masjid, berdzikir, mengumandangkan adzan, tidur menghilangkan keraguan dalam hadas kecil. Ketika marah mengucapkan hal yang dilarang seperti menggunjing orang lain dan semisalnya. Melaksanakan manasik haji seperti wuquf, melempar jumrah, ziyarah ke makam nabi saw, akan makan, setiap akan melaksnakan shalat. Karena ada hadis dari abi hurairah r.a : “jikalau aku (nabi) tidak memberatakan atas umatku sungguh aku akan menyuruh mereka untuk berwudlu setiap akan melaksanakan shalat.
Sebagai mana disunahkan wudlu, menurut ulama’ syafi’i diantaranya adalah setelah mimisan (keluanya darah dari rongga hidung dengan sendirinya), selesai melakukan csntuk (bekam), jika dalam keadaan kantuk, ketika tidur sambil duduk yang pantatnya tidak geser dari semulanya, tertawa ketika shalat, makan makanan yang di masak dengan percikan api, setelah makan daging kambng, ragu-ragu ketika hadast, ziyarah ke kuburan dan bagi orang yang memikul, membawa dan menyentuh orang yang sudah meninggal ( mayat ).

IV. KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa wudlu mempunyai suatu definisi yaitu suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang mukmin dengan menggunakan air yang suci pada anggota tertentu yakni “bagian wajah/muka, kedua tangan sampai siku-siku, sebagian rambut kepala dan kedua kaki sampai mata kaki” yang dimulai dengan niat dan dengan cara yang sudah ditentukan oleh syar’. wudlu itu hukum asalnya adalah fardlu, karena merupakan syarat syahnya shalat, dan wudlu ini diperintahkan ( difardlukan ) yang pertama kali adalah di madinah. serta mengenai hukumnya para ulama’ membaginya kedalam lima macam yaitu: fardlu, wajib, mandub, makruh dan haram. pembagian hukum ini sesuai dengan alasannya sebagai mana yang sudah di sebutkan diatas.
V. PENUTUP
Sekian makalah yang bisa saya tulis dari kitab fiqih yang berjudul “al fiqh al islamiyyah” maka dari itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna kesempurnaan resuman yang telah saya buat, semoga resuman ini dapat bermanfaat khususnya bagi sya dan umumnya bagi pembaca. Amin.




















MAQAMAT DALAM TASAWUF

MAQAMAT DALAM TASAWUF

I. PENDAHULUAN
Sufisme atau tasawuf mengandung nilai-nilai spiritual yang tinggi. Ia berusaha membina dan membangun psikologi dan pribadi muslim melalui takhalliyyah al-nafs, tahalliyyah al-nafs dan tajalliyyah al-nafs. Tasawuf merupakan maqam dalam mencapai kejernihan, kebersihan dan kesucian hati (tazkiyah al-nafs).
Apabila tasawuf dilaksanakan dengan sempurna maka ia akan menghasilkan kepribadian muslim dan kesehatan mental. Maqam dan peringkat-peringkat perjalanan dalam tasawuf adalah seperti taubah, zuhd, sabr, tawakkal, ridha, mahabbah, khawf, tawaddu`, taqwa, ikhlas, syukr dan ma`rifah.

II. RUMUSAN MASALAH
1. Al-Maqamat Dalam Sufisme
2. Tingkatan Maqamat
III. PEMBAHASAN
1. AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt, melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu.
Tazkiyyah al-nafs adalah proses beralihnya jiwa yang kotor, ternoda dan tercemar menjadi jiwa yang suci lagi menyucikan, peralihan daripada keadaan yang tidak menurut syariat kepada keadaan yang menempati syariat, daripada hati yang kafir menjadi hati yang mukmin, daripada munafik menuju sifat jujur, amanah dan fatanah, kebakhilan bertukar kepada pemurah, sifat dendam berganti dengan pemaaf, tawaddu`, tawakkal serta terkawal.
Kebersihan jiwa akan membawa kepada kondisi batiniah yang bebas daripada nilai-nilai negatif yang tergambar dalam tingkah laku. Tahap ukuran yang bebas daripada nilai-nilai negatif tersebut dicernakan melalui setiap perbuatan yang disukai dan dicintai oleh masyarakat sekitar serta diridhai Allah SWT.
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada malam, hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk shalat malam) sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat terpuji.”

Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.
Amalan-amalan itu kemudian dijadikan sufi sebagai maqam dalam tazkiyyah al-nafs. Maqam yang terdapat dalam tasawuf tersebut merupakan satu peringkat perjalanan kerohanian yang mempunyai peraturan-peraturan tertentu yang mesti ditaati agar selalu dekat dengan Allah swt, mendapat kecintaan dan keridhaan daripada-Nya. Hasil daripada ketaatan-ketaatan seorang sufi dalam menjalani maqamat adalah kehidupan yang positif, terutama nya terhadap kondisi batin.
Seorang sufi akan merasa khawf (khuatir), tawaddu, taqwa (pemeliharaan diri), ikhlas (tidak mencampuri amalannya dengan nilai-nilai kebendaan selain Allah swt), shukr (berterima kasih kepada Allah swt), dan mutma’innah (ketenteraman) akan melahirkan integrasi diri, antara diri dengan orang lain dan diri dengan alam lingkungannya serta memperoleh perlindungan dan pengawalan (muhasabah) daripada Allah sebagai Pencipta.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapannya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya.
Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut. Tahapan-tahapan atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama diantara ahli-ahli sufi, namun mereka sependapat bahwa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah taubah.

2. TINGKATAN MAQAMAT
1. Maqam Taubah
Taubah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah. Taubah juga merupakan sebuah term yang dikembangkan para salikin (orang-orang menuju Tuhan) untuk mencapai maqamat berikut yang akan diuraikan selepas ini.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.

2. Maqam Zuhd
Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatakan kemauan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).
Al-Junayd al-Baghdadi mengatakan: “Zuhd adalah ketika tangan tidak memiliki apa-apa pun dan pengosongan hati daripada cita-cita”. Di sini seorang sufi tidak memiliki sesuatu yang berharga melainkan Allah yang dirasakannya dekat dengan dirinya. Sebagaimana juga Yahya ibn Mu`adh menyatakan bahwa zuhd adalah meninggalkan apa yang mudah ditinggalkan.

3. Maqam Sabr
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.
Menurut Imam Ahmad ibn Hambal perkataan sabar disebut dalam al-Qur’an pada tujuh puluh tempat. Menurut ijma’ ulama’, sabar ini wajib dan merupakan bagian dari shukr.
Sabar dalam pengertian bahasa adalah “Menahan atau bertahan”. Jadi sabar sendiri adalah “Menahan diri daripada rasa gelisah, cemas dan marah, menahan lidah daripada keluh kesah serta menahan anggota tubuh daripada kekacauan”.
Sabar juga merupakan sikap jiwa yang ditampilkan dalam penerimaan sesuatu baik berkenaan dengan penerimaan tugas dalam bentuk suruhan dan larangan maupun dalam bentuk perlakuan orang lain serta sikap menghadapi sesuatu musibah.
Sabar merupakan sifat yang secara holistik harus dimiliki oleh seorang sufi. Sabar sendiri tidak mengenal bentuk ancaman dan ujian. Seorang sufi semestinya berada dalam ketabahan dan kesabaran yang utuh. Sabar mempunyai nilai psikologi yaitu setelah seorang sufi menjalani maqam zuhd sebagaimana yang telah diterangkan sebelum ini dan dia boleh memperkuat nilai-nilai zuhd tersebut.


4. Maqam Tawakkal
Dalam pergaulan sehari-hari, sering didengar dan dijumpai ucapan-ucapan bahwa kita bertawakkal kepada Allah SWT. Makna daripada tawakkal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah swt, setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri.
Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.
Tawakkal adalah kepercayaan dan penyerahan diri kepada takdir Allah dengan sepenuh jiwa dan raga. Dalam tasawuf, tawakkal ditafsirkan sebagai suatu keadaan jiwa yang tetap berada selamanya dalam ketenangan dan ketenteraman baik dalam keadaan suka maupun duka. Dalam keadaan suka diri akan bersyukur dan dalam keadaan duka akan bersabar serta tidak resah dan gelisah.
Sari al-Saqati mengatakan: “Tawakkal adalah pelepasan daripada kekuasaan dan kekuatan, tidak ada kekuasaan dan kekuatan apa pun melainkan daripada Allah semesta alam”.
Penyerahan diri kepada Allah SWT artinya menyerahkan segala urusan pada takdir Yang Maha Kuasa yaitu selepas seorang yang bertawakkal menjalani maqamat, tawbah, zuhd, mahabbah dan sabr. Seseorang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt meyakini kekuasaan dan kekuatan-Nya sehingga ia tidak merasa cemas dan gelisah terhadap akibat apa pun yang menimpa dirinya.
Tawakkal sendiri bukanlah bermakna seseorang itu akan bersikap pasif dan bersemangat melarikan diri daripada kenyataan hidup. Tawakkal adalah sikap aktif dan tumbuh hanya daripada pribadi yang benar-benar memahami hidup serta menerima kenyataan hidup dengan tepat pula. Permulaan tawakkal adalah kesadaran diri bahwa pengalaman pribadi individu tidaklah cukup untuk menemukan hakikat hidup karena rahasia hidup itu hanya diketahui oleh Allah SWT.
Allah berfirman yang bermaksud: “Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah, Tuhanku, Tuhan kamu. Tidak ada sesuatu yang melata (di muka bumi), melainkan Dialah yang menguasainya. Sungguh Tuhanku di atas jalan yang lurus.”
“Hukum (keputusan) itu tidak ada melainkan bagi Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal (menyerahkan diri) dan hendaklah bertawakkallah kepada-Nya wahai orang-orang yang tawakkal.”
“Kepada Allah hendaklah kamu bertawakkal jika kamu orang yang beriman.”

5. Maqam Ridha
Ridha adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Allah swt atas hamba-Nya daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut. Allah berfirman yang artinya: “Dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di syurga ‘adn.”
“Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun ridha terhadapnya.”
Bagi al-Ghazali kelebihan ridha Allah SWT merupakan manifestasi daripada keridhaan hamba.
Ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Adalah suatu kewajiban bagi seorang sufi untuk rela diatas ketentuan dan qadar Ilahi sesuai khittah yang ditetapkan syari’at. Ridha pada prinsipnya adalah kehormatan tertinggi bagi seorang individu sehingga ia dengan sengaja membuka dirinya kepada kebahagiaan di dalam menjalani kehidupan di dunia yang fana’ ini. Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”

6. Maqam Mahabbah
Secara harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih yaitu Allah SWT.
Tasawuf menjadikan mahabbah sebagai tempat persinggahan orang yang berlomba untuk memperoleh cinta Ilahi menjadi sasaran orang-orang yang beramal dan menjadi curahan orang-orang yang mencintai Tuhannya. Cinta adalah sesuatu yang membawa orang kepada keridhaan Ilahi. Bagi merealisasikan cinta, orang mudah mengorbankan apa saja asal dengan pengorbanan itu dia sampai kepada tujuan cintanya. Oleh kerana itu cinta sering diartikan sebagai berikut:
a. Menyukai kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawanNya;
b. Menyerahkan seluruh diri (jiwa dan raga) kepada yang dikasihi;
c. Mengosongkan hati daripada segala-galanya, kecuali daripada yang dikasihi.
Mahabbah atau cinta dalam pengertian di atas memberikan keterangan yang jelas terhadap makna mahabbah yang sebenarnya. Mahabbah adalah usaha menuangkan segala yang dimiliki untuk mengisinya kembali dengan muatan cinta sehingga hati sarat dengan mahabbah yang tidak dicampuri oleh perkara-perkara lain. Mahabbah dalam dimensi ini melihat bahwa sesuatu yang dikasihi sebagai sesuatu yang ideal dan paling berhak untuk dicintai dan dikasihi. Sufi terkenal Rabi`ah al-`Adawiyyah mengucapkan: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan kerana takut kepada neraka Bukan pula kerana masuk syurga Tetapi aku mengabdi kerana cintaku kepadanya Tuhanku, jika kupuja Engkau kerana takut pada neraka Bakarlah aku di dalamnya Dan jika kupuja Engkau kerana mengharapkan syurga Jauhkan aku daripadanya Tetapi jika Engkau kupuja semata-mata kerana Engkau Maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu daripadaku.”
Cinta bagi Rabi`ah bukanlah sekadar menginginkan kepentingan diri, tetapi juga lebih daripada itu dimana beliau mengharapkan keridhaan Allah semata-mata. Allah pernah menyentuh masalah cinta ini didalam al-Qur’an dimana ada diantara manusia yang tegar menyembah dan mencintai selain daripada-Nya sedangkan Allah saja yang berhak disembah dan dicintai.
Allah menguraikan perkara tersebut dalam firman-Nya yang Artinya: “Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika melihat siksa (pada hari kiamat). Sesungguhnya kekuasaan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal).”

Cinta yang dimaksudkan oleh Allah dalam ayat diatas adalah cinta yang sebenarnya; bahwa orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah dibandingkan kecintaan terhadap selain-Nya. Cintanya itu benar-benar utuh dan tidak berbelah serta tidak bercampur dengan selain-Nya.

7. Maqam Ma`rifah
Ma`rifah (‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma`rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan kepada panggilan hati melalui pelbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang diperoleh dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang terus-menerus.
Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Allah swt, dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya berdasarkan pengetahuan Allah.
Ma`rifah dalam spiritual Islam menjadi isi penting sebagai pengukuran nilai-nilai ilahiyyah (Ketuhanan), kerana ma`rifah ini adalah tingkat tertinggi daripada pendekatan-pendekatan yang dilakukan manusia untuk mengenali Tuhan. Seorang sufi merasa dirinya dekat dengan Allah tanpa batasan. Ia meyakini bahwa dirinya selalu dipimpin oleh Allah. Oleh itu, dia akan menjaga dan memelihara dirinya supaya tetap berada dalam ketaatan, keimanan dan beramal soleh.
Para sufi menyebut ma`rifah sebagai suatu pengetahuan yang dengannya seseorang sufi dapat mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubarinya dapat melihat Tuhan. Oleh karana itu mereka mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanyalahAllah.
2. Apabila dia melihat cermin yang dilihatnya juga adalah Allah.
3. Ketika bangun maupun tidur yang dilihatnya ialah Allah.
4. Allah tidak boleh dilihat dengan mata fisikal karena sesuatu yang berbentuk material tidak akan sanggup melihat keindahan dan kecantikan Allah.
Pada prinsipnya ma`rifah dalam tazkiyyah al-nafs adalah sebuah intuisi bawah sadar manusia yang diperolehnya hasil daripada ketajaman mata hati setelah menjalani tahapan-tahapan dan latihan-latihan kerohanian secara optimal. Melalui perjalanan yang panjang ini, Allah dengan rahmat-Nya memberikan ma`rifah tersebut kepada mereka yang sanggup menerimanya.

IV. KESIMPULAN
1. AL-MAQAMAT DALAM SUFISME
Tazkiyyah al-nafs dalam tasawuf sering dikaitkan dengan penyucian jiwa, pembersihan hati, penjernihan dan pembeningan hati serta penyelarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Langkah tazkiyyah al-nafs ini boleh difahami sebagai suatu usaha integrasi diri dengan terjalinnya hubungan baik antara individu dengan orang lain dan alam lingkungan seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Dalam tasawuf, tazkiyyah al-nafs merupakan satu metode untuk bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah swt, melalui proses dan latihan-latihan rohani tertentu.
Ajaran-ajaran sufi mengandung proses, cara dan aplikasi nilai yang bertujuan untuk membersihkan diri baik dzahir maupun batin. Para sufi menyebutnya sebagai al-maqamat dan al-ahwal.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Pada malam, hendaklah engkau bertahajjud (berjaga untuk shalat malam) sebagai tambahan untuk engkau, mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ke tempat terpuji”.

Seorang sufi yang menjalani proses al-maqamat ini akan merasa dekat dengan Allah swt, dan hatinya menjadi tenang, tenteram dan damai. Al-maqamat juga ditakrifkan sebagai usaha pra-kondisional berupa amalan-amalan lahir dan batin, seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal, mahabbah dan ma`rifah.

2. TINGKATAN MAQAMAT
1. Maqam Taubah
Taubah merupakan tindakan permulaan dalam peraturan ajaran tasawuf. Pada tahap taubah ini seorang sufi membersihkan dirinya (tazkiyyah al-nafs) daripada perilaku yang menimbulkan dosa dan rasa bersalah.
Taubah itu sendiri mengandung makna “kembali”; dia bertaubah berarti dia kembali. Jadi taubah adalah kembali daripada sesuatu yang dicela oleh Syara’ menuju sesuatu yang dipuji olehnya.

2. Maqam Zuhd
Secara terminologi zuhd ialah mengarahkan keinginan kepada Allah SWT, menyatakan kemauan kepada-Nya dan sibuk dengan-Nya dibandingkan kesibukan-kesibukan lainnya agar Allah memerhatikan dan memimpin seorang zahid (orang yang berperilaku zuhd).

3. Maqam Sabr
Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, bahkan sabar adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah yang sangat mulia dan tinggi. Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan baik dalam sesuatu perkara yang tidak diinginkan maupun dalam kehilangan sesuatu yang disenangi.

4. Maqam Tawakkal
Makna daripada tawakkal disini adalah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah swt, setelah berusaha bersungguh-sungguh. Secara harfiah tawakkal berarti bersandar atau mempercayai diri.
Apabila dikembangkan etimologinya tawakkal bermakna mempercayai diri secara utuh tanpa keraguan. Namun tawakkal yang dimaksudkan dalam masalah ini adalah tawakkal yang disandarkan kepada agama Islam. Maka tawakkal itu adalah bersandar dan mempercayai dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.

5. Maqam Ridha
Ridha adalah puncak daripada kecintaan yang diperoleh seorang sufi selepas menjalani proses ‘ubudiyyah yang panjang kepada Allah SWT. Ridha merupakan anugerah kebaikan yang diberikan Allah swt atas hamba-Nya daripada usahanya yang maksimal dalam pengabdian dan munajat. Ridha juga merupakan manifestasi amal soleh sehingga memperoleh pahala daripada kebaikannya tersebut.
Ridha terikat dengan nilai penyerahan diri kepada Tuhan yang bergantung kepada usaha manusia dalam berhubungan dengan Tuhannya agar senantiasa dekat dengan Tuhannya. Syaikh Abu `Ali al-Daqqaq menyatakan bahwa seorang sufi tidak merasa terbebani dengan hukum dan qadar Allah Ta’ala.
Ibn Khatib mengatakan: “Ridha adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala.”

6. Maqam Mahabbah
Secara harfiah mahabbah atau al-hubb sering diartikan dengan cinta dan kasih sayang. Dalam hal ini mahabbah adalah usaha mewujudkan rasa cinta dan kasih sayang yang ditujukan kepada Allah Ta’ala. Mahabbah juga dapat diartikan sebagai luapan hati dan gejolaknya ketika dirundung keinginan untuk bertemu dengan Kekasih yaitu Allah SWT.

7. Maqam Ma`rifah
Ma`rifah (‘arafa-ya`rifu-ma`rifatan) secara etimologi berarti mengenal, mengetahui dan kadangkala juga boleh diartikan dengan menyaksikan. Istilah ma`rifah dalam tasawuf sering dikonotasikan kepada panggilan hati melalui pelbagai bentuk tafakur untuk menghayati nilai-nilai kerinduan, (al-shawq) yang diperoleh dari kegiatan zikir, sesuai dengan tanda-tanda pengungkapan (hakikat) yang terus-menerus.
Maksudnya hati menyaksikan kekuasaan Allah swt, dan merasakan besarnya kebenaran-Nya dan mulia kehebatan-Nya yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dari aspek lain ma`rifah juga berarti mengetahui apa saja yang dibayangkan dalam hati tanpa menyaksikan sendiri keadaannya berdasarkan pengetahuan Allah.

V. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat kami harapkan. Dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita dan bermanfaat. Amin.













PENGERTIAN HADIS, SUNNAH DAN ATSAR

ULUML HADIS I
I. PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR, ATSAR DAN HADIS QUDSI
A. Pengertian Hadis
Term hadis berasal dari bahasa Arab, “al-hadits”; bentuk jamak nya adalah al-ahadits, al-hidsan, dan al-hudsan. Secara etimologis hadis dapat berarti al-jadid (sesuatu yang baru), yang merupakan lawan dari term al-qadim (sesuatu yang lama). Hadis juga dapat berarti al-khabar, yaitu kabar atau berita. Hadis dengan makna yang disebutkan terakhir ini sejalan dengan Q.S. al-Thur (52): 34, al-Kahfi (18): 6 dan al-Dhuha (93): 11.
Sementara itu, menurut Azami bahwa term hadis dalam al-Qur’an terulang sebanyak 23 kali dan tersebar diberbagai surah al-Qur’an. Secara terminologis term tersebut memiliki arti yang beraneka ragam sesuai dengan konteks ayat (siyaq al-kalam), diantaranya adalah; (1) Komunikasi religius: risalah atau al-Qur’an (Q.S. al-Zumar (39): 23, (2) kisah tentang suatu watak sekuler atau umum dll.
Sedangkan secara Terminologis, baik ulama hadis maupun ulama ushul terjadi perbedaan pendapat di dalam mendefinisikan hadis, bahkan dikalangan ulama hadis pun juga terjadi perbedaan pendapat ketika memberikan batasan dimaksud.
Diantara ulama ada yang mendefinisikan hadis dengan “Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan hal ihwal nya”. Ada pula yang mendefinisikannya sebagai ‘segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan taqrir (Ketetapan) maupun sifatnya. Demikian juga ada yang merumuskan nya dengan ‘sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifatnya.
Sementara itu, menurut Ibn Al-Subkiy (wafat 771 H), pengertian hadis, yang dalam hal ini disebut juga dengan istilah sunnah, adalah segala sabda dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Dari berbagai definisi diatas jelas sekali bahwa yang dimaksud hadis adalah ‘segala sesuatu yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak. Namun ada juga yang meriwayatkan seperti………….. bisa disebut dengan hadis, meskipun dalam riwayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan qaul, af’al, dan taqrir Nabi SAW. Tetapi lebih berkaitan dengan perilaku para sahabatnya. Contoh semacam ini banyak sekali dijumpai dalam literatur hadis awal.
Melihat kenyataan yang demikian, maka definisi hadis, menurut sebagian ulama perlu diperluas lagi, yaitu tidak hanya terbatas pada apa saja yang disandarkan kepada Nabi tapi juga pada sahabat. Sehingga definisi hadis menjadi ‘segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa saja yang dinisbatkan kepada sahabat. Tidak itu saja, bahkan di dalam beberapa literatur hadis juga ditemukan beberapa riwayat yang secara langsung tidak berhubungan dengan Nabi SAW ataupun sahabat, yaitu hadis yang disandarkan kepada para ulama sesudah para sahabat (tabi’in). sehingga Al-Tirimisi, memberikan batasan bahwa hadis tidak hanya terbatas pada apa yang disandarkan kepada Nabi SAW semata, tetapi juga segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat (mauquf) dan sesuatu yang disandarkan kepada para tabi’in (maqtu).

B. Pengertian Sunnah
Term sunnah (jamak: sunan) berasal dari bahasa Arab: sana, yasunnu, sunatan yang berarti perilaku yang mentradisi (habitual practice), norma, undang-undang (role). Secara etimologi, term sunnah memiliki arti yang cukup beraneka ragam. Azami misalnya, telah meng inventaris makna sunnah sebagai berikut, yaitu tata cara; cara atau jalan, yaitu jalan yang dilalui orang-orang dahulu kemudian diikuti oleh orang-orang belakangan; tata cara dan tingkah atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela; juga dapat berarti tata cara, baik maupun buruk. Sunnah juga berarti sesuatu yang baru (syai’un jadidun), artinya adalah tatanan hukum baru yang berlaku pada masyarakat Arab ketika itu, ia juga berarti sesuatu yang mengalir secara kontinyu; atau jalan atau tingkah laku yang baik maupun yang buruk; juga berarti jalan yang baik saja. Sementara itu menurut Al-Azhariy, sunnah adalah jalan yang lurus lagi terpuji.
Sedangkan, definisi sunnah secara terminologi, juga banyak diperselisihkan dikalangan para ulama, baik ulama ushul, fiqh, maupun ulama hadis sendiri. Perbedaan ini lebih berorientasi kepada perbedaan tujuan atau sudut pandang dalam memahami kedudukan Rasulullah SAW. Ulama ushul fikih misalnya, membahas konsep ini lebih menitik beratkan pada pribadi Rasulullah SAW, sebagai pembuat hukum atau dalil-dalil syar’i. sedangkan ulama fikih, lebih menitik beratkan segi hukum syar’iatnya, baik yang berkaitan dengan hukum fardhu, wajib, mandhub, haram maupun makruh.
Sementara itu, ulama hadis lebih menitik beratkan dari segi penukilan segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, dimana Rasulullah SAW, dalam hal ini dipandang sebagai figur pemimpin yang menjadi tauladan yang baik (uswah al-hasanah) yang paling sempurna bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian mereka menerima dan meriwayatkan nya secara utuh segala hal yang berkaitan dengan pribadi Rasulullah SAW, baik hal-hal yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan, karakteristik, budi pekerti, berita-berita, maupun sejarah yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, budi pekerti, perjalanan hidup, baik sebelum diutus menjadi rasul maupun sesudahnya. Ada juga yang mendefinisikannya sebagai ‘segala sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan (sirah) nabi saw, budi pekerti, tabi’at, berita, perkataan, dan perbuatannya, baik yang melahirkan hukum syara’ maupun tidak.
Sedangkan ulama fiqih mendefinisikan sunnah sebagai segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW, baik berupa ucapan maupun pekerjaan, tetapi tidak wajib dikerjakan. Sedangkan menurut ulama ushul mendefinisikan sunnah sebagai ‘segala sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW selain al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan sebagai sumber dalil bagi hukum syara’.
Perbedaan antara hadis dan sunnah menurut para ulama, yaitu; menurut Subhi Al-Shalih bahwa sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi SAW, yang tercermin dalam perilakunya yang suci. Sehingga hadis lebih umum sifatnya dari pada sunnah, dimana hadis mencakup sabda dan perbuatan Nabi, sedangkan sunnah khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqie hadis adalah segala sesuatu yang diceritakan dari Rasulullah SAW, sedangkan sunnah adalah sesuatu yang telah biasa dilakukan oleh kaum muslimin sejak dahulu, baik diceritakan maupun tidak.

C. Pengertian Khabar dan Atsar
Khabar menurut bahasa serupa dengan makna hadits, yakni segala berita yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Sedang menurut istilah, menurut ulama ahli hadis sama artinya dengan hadis, keduanya dapat dipakai untuk sesuatu marfu’, mauquf, dan maqthu’, mencakup segala yang datang dari Nabi SAW, sahabat dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya.
Ulama lain mengatakan bahwa khabar adalah yang datang selain dari Nabi SAW, sedang yang datang dari Nabi disebut hadis. Ada juga yang mengatakan bahwa hadis lebih umum dan lebih luas daripada khabar, sehingga tiap hadis dikatakan khabar sedangkan tidak setiap khabar dikatakan hadis.
Sedangkan atsar menurut pendekatan bahasa sama pula artinya dengan khabar, hadis dan sunnah.
Sedangkan atsar menurut istilah ialah:
مَارُوِيَ عَنِ الصَّحَا بَةِ وَيَجُوْزُ اِطْلاَقُهُ عَلَى كَلاَمِ النَّبِيِّ اَيْضًا
“Segala sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat, dan boleh juga disandarkan kepada perkataan Nabi SAW.”

D. Pengertian Hadits Qudsiy
Rasul SAW, kadang menyampaikan kepada para sahabat nasehat-nasehat dalam bentuk wahyu, akan tetapi wahyu tersebut bukanlah bagian dari ayat al-Qur’an. Itulah yang biasa disebut dengan hadits qudsiy atau sering juga disebut hadits ilahiy atau rabbany.
Yang dimaksud dengan hadits qudsiy ialah:
كُلُّ حَدِيْثٍ يُضِيْفُ فِيْهِ الرسولِ صلى الله عليه وسلم قَوْلاً إِلىَ اللهِ عَزَّوَجَلَ
“Setiap hadis yang Rasul menyandarkan perkataannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”
Atau pengertian lain yang semakna “Sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian yang kemudian nabi menyampaikan makna dari ilham tersebut dengan ungkapan kata beliau sendiri.”

Ciri-ciri Hadits Qudsiy:
1. Ada redaksi qala/yaqulu Allahu
2. Ada redaksi fi ma rawa/yarwihi ‘anillahi tabaraka wata’ala
3. Dengan redaksi lain yang semakna dengan redaksi diatas, setelah selesai penyebutan rawi yang menjadi sumber pertamanya, yakni sahabat. Bila tidak ada tanda-tanda demikian, biasanya termasuk hadis nabawi.

II. UNSUR-UNSUR POKOK HADIS DAN PENGERTIANNYA
1. Sanad
Kata “sanad” menurut bahasa adalah sandaran, atau sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian, karena hadis bersandar kepadanya. Sedangkan sanad menurut istilah, terdapat perbedaan rumusan pengertian. Al- Badru bin Jama’ah dan Al-Thiby mengatakan bahwa sanad adalah:
“Berita tentang jalan matan”.
Yang lain menyebutkan:
“Silsilah orang-orang (yang meriwayatkan hadis), yang menyampaikan kepada matan hadis”.
Ada juga yang menyebutkan:
“Silsilah para perawi yang menukil kan hadis dari sumbernya yang pertama”.
Yang berkaitan dengan istilah sanad, terdapat kata-kata seperti al-isnad, al-musnid, dan al-musnad. Kata-kata ini secara Terminologis mempunyai arti yang cukup luas, sebagaimana yang dikembangkan oleh para ulama.
Kata al-isnad berarti menyandarkan, mengasalkan (mengembalikan ke asal), dan mengangkat. Yang dimaksud disini, ialah menyandarkan hadis kepada orang yang mengatakannya. Menurut al-Thiby, sebenarnya kata al-isnad dan al-sanad digunakan oleh para ahli hadis dengan pengertian yang sama.
Kata al-musnad mempunyai beberapa arti, bisa berarti hadis yang disandarkan atau disanadkan oleh seseorang, atau nama suatu kitab yang menghimpun hadis-hadis dengan sistem penyusunan berdasarkan nama-nama para sahabat para perawi hadis, seperti Kitab Musnad Ahmad, bisa juga berarti nama bagi hadis yang marfu’ dan muttashil.

2. Matan
Kata “matan” atau al-matn menurut bahasa berarti irtafa’a min al-ardhi (tanah yang meninggi). Sedang menurut istilah adalah:
“Suatu kalimat tempat berakhirnya sanad”.
Atau dengan redaksi lain ialah:
“Lafaz-lapaz hadis yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu”.
Ada juga redaksi yang lebih simpel lagi, yang menyebutkan bahwa matan adalah ujung sanad (gayah as-sanad). Dari semua pengertian diatas, menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan matan, ialah materi atau lafaz hadis itu sendiri.

3. Rawi
Kata “rawi” atau “al-rawi” berarti orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadis (naqil al-hadits).
Sebenarnya antara sanad dan rawi itu merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sanad-sanad hadis pada tiap-tiap tabaqahnya, juga disebut rawi, jika yang dimaksud dengan rawi adalah orang yang meriwayatkan dan memindahkan hadis. Tetapi yang membedakan antara sanad dan rawi, adalah terletak pada pembukuan atau pentadwinan hadis. Orang yang menerima hadis dan kemudian menghimpun nya dalam suatu kitab tadwin, disebut dengan perawi. Dengan demikian, maka perawi dapat disebut mudawwin (orang-orang yang membukukan dan menghimpun hadis).

III. SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS
1. Hadis Pada Masa Rasul Saw
Membicarakan hadis pada masa Rasul saw, berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya. Maka dalam Uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul saw. Sebagai sumber hadis.
Rasul membina umatnya selama 23 tahun. Masa ini merupakan kurun waktu turunnya wahyu dan sekaligus diwurudkan nya hadis. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran islam.
Wahyu yang diturunkan Allah swt. Kepadanya dijelaskannya melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan penetapan (taqrir)-nya. Sehingga apa yang didengar, dilihat dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.
1) Cara Rasulallah Saw Menyampaikan Hadis
Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya. Umat islam pada masa ini dapat secara langsung memperoleh hadis dari Rasulallah saw sebagai sumber hadis. Antara rasul dengan Sahabat tidak ada jarak atau hijab yang dapat menghambat atau mempersulit pertemuannya.
Allah menurunkan al-Qur’an dan mengutus Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya adalah sebuah paket yang tidak dapat dipisah-pisahkan, dan apa-apa yang disampaikannya juga merupakan wahyu. Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.

Artinya: Dan tidaklah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. Al- Najm (53): 3-4).

Ada beberapa cara Rasulallah saw dalam menyampaikan hadis kepada para sahabat, yaitu:
Pertama, melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut Majlis Al-‘Ilmi. Kedua, dalam banyak kesempatan Rasul saw juga menyampaikan hadis nya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Ketiga, cara lain yang dilakukan Rasulullah saw adalah melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada’ dan futuh makkah.

2) Perbedaan Para Sahabat Dalam Menguasai Hadis
Diantara para sahabat tidak sama kadar perolehan dan penguasaan hadis. Ada yang memilikinya lebih banyak, tetapi ada yang sedikit sekali. Hal ini tergantung kepada beberapa hal. Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama rasul saw. Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain. Ketiga, perbedaan mereka karena berbeda nya waktu masuk islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasul saw.

2. Hadis Pada Masa Sahabat
Periode kedua sejarah perkembangan hadis, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa’ Al-Rasyidin, yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini juga disebut masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, maka periwayatan hadis belum begitu berkembang, dan kelihatannya berusaha membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.

3. Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat. Mereka, bagaimanapun, mengikuti jejak para sahabat sebagai guru-guru mereka. Hanya saja persoalan-persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Di pihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa Khulafa Al-Rasyidin, khususnya masa Kekholifahan Utsman para sahabat ahli hadis menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadis. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah islam, penyebaran para sahabat ke daerah-daerah tersebut terus meningkat, sehingga masa ini dikenal dengan masa penyebaran periwayatan hadis.

4. Masa Tadwin Hadis
Secara bahasa, “tadwin” diterjemahkan dengan kumpulan shahifah (mujtama’ al-shuhuf). Secara luas tadwin diartikan dengan al-jam’u (mengumpulkan). Al-Zahrani merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut: “Mengikat yang berserak-serakan kemudian mengumpulkan nya menjadi satu diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”.
Sementara yang dimaksud dengan tadwin periode ini adalah pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala negara, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya. Bukan yang dilakukan perseorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti yang terjadi pada masa Rasulallah saw.
Usaha ini dimulai pada masa pemerintahan islam yang dipimpin oleh khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (khalifah ke delapan dari kekhalifahan bani umayah), melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Kepada Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazm (gubernur Madinah), ia mengirim instruksi, yang antara lain berbunyi: “Perhatikan atau periksalah hadis-hadis Rasul saw, kemudian tuliskanlah! Aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama (para ahlinya). Dan janganlah kamu terima kecuali hadis rasul saw”.

 Latar Belakang Munculnya Pemikiran Usaha Tadwin Hadis
Ada dua hal pokok mengapa Umar Ibn Abd Aziz mengambil sikap seperti ini. Pertama, ia khawatir terhadap hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir juga kana tercampur nya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis palsu. Dipihak lain bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lain nya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi hadis.

 Gerakan Menulis Hadis Pada Kalangan Tabi’in Dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibn Syihab Az-Zuhri
Ada ulama ahli hadis yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang, yaitu Malik Ibnu Anas (wafat 93-179 M) di Madinah, dengan kitab hasil karyanya al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H atas perintah Khalifah Al-Mansur. Para ulama menilai Muwatha’ ini sebagai kitab tadwin yang pertama dan banyak dijadikan rujukan oleh para muhadis selanjutnya.

5. Masa Seleksi Dan Penyempurnaan Serta Pengembangan Sistem Penyusunan Kitab Hadis
1) Masa Penyaringan Hadis
Masa seleksi atau penyaringan hadis terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode seleksi ini, karena pada periode sebelumnya (tadwin), belum berhasil memisahkan beberapa hadis mauquf dan maqthu’ dari hadis marfu’. Begitu pula belum bisa memisahkan beberapa hadis yang dha’if pada kitab-kitab shahih karya mereka.
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama pada masa ini, maka bermunculan lah kitab-kitab hadis yang shahih. Kitab-kitab tersebut pada perkembangannya kemudian, dikenal dengan Kutub Al-Sittah. (kitab induk yang enam).
Ulama yang berhasil menyusun kitab tersebut, ialah Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim ibn Al-Mughirah ibn Bardizbah al-Bukhari, yang dikenal dengan “Imam Bukhari” (194-252 H) dengan kitabnya Al-Jami’ Al-Shahih.
Secara lengkap kitab-kitab yang enam diatas, diurutkan sebagai berikut:
1. Al-Jami’ al-Shahih susunan Imam al-Bukhari
2. Al-Jami’ al-Shahih susunan Imam Muslim
3. Al-Sunnah susunan Abu Daud
4. Al-Sunnah susunan Al-Tirmidzi
5. Al-Sunnah susunan al-Nasa’i dan
6. Al-Sunnah susunan Ibnu Majah.

2) Masa Pengembangan Dan Penyempurnaan Sistem Penyusunan Kitab-Kitab Hadis
Setelah munculnya Kutub Al-Sittah dan Al-Muwaththa’ Malik serta Musnad Ahmad ibn Hambal, para ulama mengalihkan perhatiannya untuk menyusun Kitab-Kitab Jawami’, Kitab Syarah Mukhtasar, Mentakhrij, mnenyusun Kitab Athraf, dan Jawa’id serta penyusunan kitab hadis untuk topoik-topik tertentu.

IV. PENGERTIAN ILMU HADIS DAN CABANG-CABANG HADIS DIRAYAH DAN RIWAYAH
1. Pengertian Ilmu Hadis
Yang dimaksud ilmu hadis, menurut ulama Mutaqaddimin adalah: “Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara persambungan hadis sampai kepada Rasul saw, dari segi hal ihwal para perawinya, kedabitan, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad, dan sebagainya”.
Pada perkembangan selanjutnya, oleh ulama mutaakhirin, ilmu hadis ini dibagi menjadi dua, yaitu ilmu hadis Riwayah dan ilmu hadis Dirayah.
a. Ilmu Hadis Riwayah
Ilmu hadis riwayah adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at maupun tingkah lakunya.
Obyek ilmu hadis riwayah ialah bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain, dan memindahkan atau mendewankan. Demikian menurut Al-Suyuthi. Dalam menyampaikan dan membukukan hadis hanya disebutkan apa adanya, baik yang berkaitan dengan matan maupun sanadnya. Ilmu ini tidak membicarakan tentang syadz (kejanggalan) matan hadis. Demikian pula ilmu ini tidak membahas tentang kualitas para perawi, baik keadilan, kedabhitan, atau fasikannya. Adapun paedah mempelajari ilmu hadis riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan yang salah dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi saw.

b. Ilmu Hadis Dirayah
Ilmu hadis dirayah biasa juga disebut sebagai ilmu Musthalah Al-Hadits, Ilmu Ushul Al-Hadits, Ulum Al-Hadits, Dan Qawa’id Al-Tahdits. Al-Tirmisi mendefinisikan ilmu ini dengan: “Undang-undang atau kaidah-kaidah untuk mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan, sifat-sifat perawi, dan lain-lain.
Sedangkan menurut Al-Akfani mendefinisikan ilmu ini sebagai berikut: “Ilmu pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-macam dan hukum-hukum serta untuk mengetahui keadaan para perawi, baik syarat-syaratnya, macam-macam hadis yang diriwayatkan dan segala yang berkaitan dengannya”.

Yang dimaksud dengan:
 Hakikat periwayatan adalah penukilan hadis dan penyandarannya kepada sumber hadis atau sumber berita.
 Syarat-syarat periwayatan ialah penerimaan perawi terhadap hadis yang akan diriwayatkan dengan bermacam-macam cara penerimaan, seperti melalui al-asma, al-qira’ah, al-washiah, dan al-ijazah.
 Macam-macam periwayatan ialah membicarakan sekitar bersambung dan terputusnya periwayatan dan lain-lain.
 Hukum-hukum periwayatan ialah pembicaraan sekitar diterima atau ditolaknya suatu hadis.
 Keadaan para perawi ialah pembicaraan sekitar keadilan, kecacatan para perawi, dan syarat-syarat mereka dalam menerima dan meriwayatkan hadis.
 Macam-macam hadis yang diriwayatkan meliputi hadis-hadis yang dapat dihimpun pada Kitab-Kitab Tashnif, Kitab Tasnid, Dan Kitab Mujam.

Obyek pembahasan ilmu hadis dirayah, adalah keadaan para perawi dan marwinya. Keadaan para perawi, baik yang menyangkut pribadinya, seperti akhlak, tabi’at, dan keadaan hafalannya, maupun yang menyangkut persambungan dan terputusnya sanad.

Faedah mempelajari ilmu hadis dirayah antara lain:
1) Mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis dan ilmu hadis dari masa ke masa sejak masa rasul saw, sampai sekarang.
2) Dapat mengetahui tokoh-tokoh serta usaha-usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara dan meriwayatkan hadis.
3) Dapat mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan oleh para ulama dalam mengklasifikasikan hadis lebih lanjut.
4) Dapat mengetahui istilah-istilah, nilai-nilai, dan criteria-kriteria hadis sebagai pedoman dalam beristinbat.
Dari beberapa paedah di atas, apabila diambil intisari nya, maka faedah mempelajari ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui kualitas sebuah hadis, apakah ia maqbul, dan mardud, baik dilihat dari sudut sanad maupun matannya.

2. Cabang-Cabang Ilmu Hadis
Dari ilmu hadis riwayah dan dirayah ini, pada perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu hadis lainnya, diantaranya:
1. Ilmu Rijal Al-Hadis
Ilmu Rijal Al-Hadis ialah: “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis”. Obyeknya adalah khusus untuk mempelajari persoalan-persoalan disekitar sanad.

2. Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil
Ilmu Al-Jarh, yang secara bahasa berarti, luka, cela, atau cacat, adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari kecacatan para perawi, seperti pada keadilan dan kedhabitannya. Para ahli hadis mendefinisikan al-Jarh dengan: “Kecacatan pada perawi hadis disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau kedhabitan perawi”.
Sedang al-Ta’dil, yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan), menurut istilah berarti: “Pembersih atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia adil atau dhabit”.
Ulama lain mendefinisikan al-Jarh dan at-Ta’dil dalam satu definisi, yaitu: “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadis dari segi yang dapat menunjukan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan atau lafaz tertentu”.
Ilmu ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bias diterima atau harus ditolak sama sekali.
Orang yang melakukan ta’dil dan tajrih harus memenuhi syarat, sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara’, jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup Ilmu Jarh Dan Ta’dil ini.

3. ilmu tarikh ar-ruwah
Ilmu Tarikh Ar-Ruwah ialah: “Ilmu untuk mengetahui para perawi hadis yang berkaitan dengan usaha periwayatan mereka terhadap hadis”.
Dengan ilmu ini dapat diketahui keadaan dan identitas para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa/waktu mereka mendengar hadis dari gurunya, siapa orang yang meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, tempat mereka mengadakan lawatan, dan lain-lain. Sebagai bagian dari ilmu rijal al-hadis, ilmu ini mengkhususkan pembahasannya secara mendalam pada sudut kessejarahan dari orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.

4. Ilmu ‘Ilal Al-Hadis
kata ‘ilal adalah bentuk jama’ dari kata “al-illah”, yang menurut bahasa berarti “al-maradh” (penyakit atau sakit). Menurut muhadisin, istilah “’illah” berarti sebab yang tersembunyi atau samar-samar yang berakibat tercemarnya hadis. Akan tetapi yang kelihatan adalah kebalikannya yakni tidak terlihat adanya kecacatan.
Adapun yang dimaksud Ilmu ‘Ilal Hadis, menurut muhadisin, ialah: “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan keshahihan hadis, seperti mengatakan muttashil terhadap hadis yang munqathi’, menyebut marfu’ terhadap hadis yang maukuf, memasukan hadis kedalam hadis lain, dan hal-hal yang seperti itu”.

5. Ilmu An-Nasikh Wa Al-Mansukh
Yang dimaksud dengan Ilmu Al-Nasikh Wa Al-Mansukh disini, ialah terbatas di sekitar nasikh dan mansukh pada hadis.
Kata al-naskh menurut bahasa mempunyai dua pengertian al-izalah (menghilangkan) dan an-naql (menyalin). Sedangkan an-naskh menurut istilah, sebagaimana pendapat ulama ushul adalah: “Syari’ mengangkat (membatalkan) sesuatu hukum syara’ dengan menggunakan dalil syar’i yang datang kemudian”.
Konsekuensi dari pengertian ini adalah bahwa menerangkan nas yang mujmal, mentakhsiskan yang ‘am, dan mentaqyidkan yang mutlak tidaklah dikatakan nasakh.
Adapun yang dimaksud dengan Ilmu Nasikh dan Mansukh dalam hadis adalah: “Ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi (yang berlawanan) yang pada akhirnya terjadilah saling menghapus, dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian dinamakan nasikh”.
Untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini bisa melalui beberapa cara:
1) Dengan penjelasan dari nash atau syari’ sendiri, yang dalam hal ini Rasul saw.
2) Dengan penjelasan dari para sahabat.
3) Dengan mengetahui tarikh keluarnya hadis serta sabab wurud hadis. Dengan demikian akan diketahui mana yang datang lebih dulu dan mana yang datang kemudian.

6. Ilmu Asbab Wurud Al-Hadis
Kata asbab adalah jama’ dari sabab. Menurut ahli bahasa diartikan dengan “al-habl” (tali), saluran, yang artinya dijelaskan sebagai: “Segala yang menghubungkan satu benda dengan benda lainnya”. Sedang menurut istilah ialah: “Segala sesuatu yang mengantarkan pada tujuan”. Ada juga yang mendefinisikan dengan: “Suatu jalan menuju terbentuknya suatu hokum tanpa adanya pengaruh apa pun dalam hukum itu”.
Sedangkan kata “wurud” bisa berarti sampai, muncul, dan mengalir. Dalam pengertian yang lebih luas, Al-Suyuthi merumuskan pengertian Asbab Wurud Al-Hadits dengan: “Sesuatu yang membatasi arti suatu hadis, baik berkaitan dengan arti umum atau khusus, mutlak atau muqayyad, dinasakhkan dan seterusnya” atau “Suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya”.
Dari uraian pengertian tersebut, asbab wurud al-hadis adalah suatu ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang sebab-sebab Nabi saw, menuturkan sabdanya dan waktu beliau menuturkan itu.
Faedah mempelajari ilmu asbab al-wurud adalah dapat mentakhsis arti yang umum, membatasi arti yang mutlak, menunjukan perincian terhadap yang mujmal, menjelaskan kemusykilan, dan menunjukan illat suatu hukum. Namun demikian, tidak semua hadis mempunyai asbab wurud.

7. Ilmu Garib Al-Hadis
Menurut Ibnu Al-Shalah, yang dimaksud dengan gharib al-hadits ialah: “Ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam matan hadis karena (lafazh tersebut) jarang digunakan”.
Ada beberapa cara untuk menafsirkan hadis-hadis yang mengandung lafazh yang gharib ini, diantaranya:
a. Dengan hadis yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh yang gharib tersebut.
b. Dengan penjelasan dari para sahabat yang meriwayatkan hadis atau sahabat lain yang tidak meriwayatkannya, tapi paham akan makna gharib tersebut.
c. Penjelasan dari rawi selain sahabat.

8. Ilmu At-Tashif Wa At-Tahrif
Ilmu al- tashif wa al-tahrif ialah: ilmu pengetahuan yang berusaha menerangkan tentang hadis-hadis yang sudah diubah titik dan syakalnya (mushahhaf) dan bentuknya (muharraf).

9. Ilmu Mukhtalif Al-Hadis
Ilmu mukhtalif al-hadis ialah: “Ilmu yang membahas hadis-hadis, yang menurut lahirnya saling bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dikompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadis-hadis yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya”.

V. ADAB MUHADDIS
Seseorang yang menyibukkan dirinya dengan hadits serta menyebarluaskannya ketengah-tengah masyarakat, maka seorang muhaddits sudah selayaknya menjadi teladan, bersifat jujur terhadap apa yang disampaikannya, dan mengamalkan hadits pada dirinya sendiri sebelum memerintahkannya pada orang lain.

Hal-Hal Utama Yang Menjadi Adab Muhaddits:
1. Meluruskan niat dan ikhlas, yaitu dengan membersihkan hati dari motif-motif keduniawian seperti mencari kedudukan dan popularitas.
2. Memberi perhatian yang amat besar terhadap penyebarluasan hadits, dan menyampaikan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rangka meraih pahala yang melimpah.
3. Tidak berbicara hadits di depan orang yang lebih utama daripada dirinya, baik dari sisi usia maupun ilmunya.
4. Hendaknya seorang muhaddits membentuk majelis untuk mengkaji hadits jika memang memiliki kelayakan untuk mengajarkan hadits

VI. THARIQAH AL-RIWAYAH (TAHAMUL WA ADA’)
Para ulama ahli hadis mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan hadis dari seseorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadis” dengan istilah al-tahamul. Sedang “menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang lain” mereka istilahkan dengan al-ada’.
A. PENERIMAAN HADIS
1. Penerimaan Anak-anak, Orang Kafir dan Orang Fasik
Jumhur ulama ahli hadis berpendapat, bahwa penerimaan periwayatan suatu hadis oleh anak yang belum sampai umur (belum mukallaf) dianggap sah bila periwayatan hadis tersebut disampaikan kepada orang lain pada waktu sudah mukalaf.
Al-Qadhi ‘Iyad menetapkan, bahwa batas minimal usia anak diperbolehkan bertahammul paling tidak sudah berusia lima tahun, karena pada usia ini anak sudah mampu menghafal apa yang didengar dan mengingat-ingat yang dihafal. Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat bukhari dari sahabat mahmud bin Al-Rubai’:
Artinya: “Saya ingat Nabi saw, meludahkan air yang diambilnya dari timba ke mukaku, sedang pada saat itu saya berusia lima tahun”.

Sementara ulama Syam memandang usia yang ideal bagi seseorang untuk meriwayatkan hadis setelah berusia 30 tahun, dan ulama Kufah berpendapat minimal berusia 20 tahun.
Kebanyakan ulama ahli hadis tidak menetapkan batasan usia tertentu bagi anak yang diperbolehkan bertahammul, akan tetapi lebih menitik beratkan pada ke tamyizan mereka.
2. Cara Penerimaan Hadis
Para ulama ahli hadis menggolongkan metode menerima suatu periwayatan hadis menjadi delapan macam, yaitu:
a. Al-sima’
Yakni suatu penerimaan hadis dengan cara mendengarkan sendiri dari perkataan gurunya dengan cara didiktekan baik dari hafalan nya maupun dari tulisannya.
Menurut Al-Qadhi ‘Iyad, yang dikutip oleh Al-Suyuthi, di dalam cara sama’ ini, para ulama tidak memperselisihkan kebolehan rawi dalam meriwayatkannya, mengunakan kata-kata:
(seseorang telah menceritakannya kepada kami), (seseorang telah mengabarkan kepada kami), (seseorang telah memberitakan kepada kami), (saya telah mendengar seseorang),(seseorang telah berkata kepada kami), dan (seseorang telah menuturkan kepada kami).

b. Al-Qira’ah
Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang membacakan hadis di hadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan dan menyimak, baik sang guru hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau mengetahui tulisannya atau dia tergolong tsiqqah.
c. Al-ijazah
Yakni seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun murid tidak membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: (saya mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku)
d. Al-munawalah
Yaitu seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab kepada muridnya untuk diriwayatkan. Ada juga yang mengatakan bahwa al-munawalah adalah seorang guru memberi kepada seorang murid, kitab asli yang didengar dari gurunya, atau sesuatu naskah yang sudah dicocokkan, sambil berkata “inilah hadis-hadis yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah hadis itu dariku dan saya ijazahkan kepadamu untuk diriwayatkan”. Al-munawalah mempunyai dua bentuk yakni: pertama, al-munawalah dibarengi dengan ijazah.
Hadis yang berdasar atas munawalah bersama ijazah biasanya menggunakan redaksi: (seseorang telah memberitahukan kepadaku/kami). Kedua, al-munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah, seperti perkataan guru pada muridnya “ini hadis saya” atau “ini hasil pendengaranku atau dari periwayatanku”.
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan munawalah tanpa dibarengi dengan ijazah ini biasanya menggunakan redaksi: (seseorang telah memberikan kepadaku/kami).
e. Al-Mukatabah
Yakni seorang guru menuliskan sendiri atau menyuruh orang lain untuk menuliskan sebagian hadis nya guna diberikan kepada murid yang ada dihadapannya atau yang tidak hadir dengan jalan dikirimi surat melalui orang yang dipercaya untuk menyampaikannya.
Al-mukatabah ada dua macam yakni: pertama, al-mukatabah yang dibarengi dengan ijazah, yaitu sewaktu sang guru menuliskan beberapa hadis untuk diberikan kepada muridnya disertai dengan kata-kata “ini adalah hasil periwayatanku, maka riwayatkanlah” atau “saya ijazah-kan kepadamu untuk kamu riwayatkan kapada orang lain”. Kedua, al-mukatabah yang tidak dibarengi dengan ijazah.
f. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan seorang guru kepada muridnya, bahwa kitab atau hadis yang diriwayatkannya dia terima dari seseorang (guru), dengan tanpa memberikan ijazah kepada muridnya untuk meriwayatkannya atau menyuruhnya.
g. Al-wasiyah
Yakni seorang guru, ketika akan meninggal atau bepergian, meninggalkan pesan kepada orang lain untuk meriwayatkan hadis atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian.
h. Al-wajadah
Yakni seorang memperoleh hadis orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadis dengan tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah atau al-munawalah.

B. PERIWAYATAN HADIS
 Syarat-Syarat Periwayatan Hadis:
1. Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadis, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir. Kaitannya dengan hal ini bisa kita lihat firman Allah swt, dalam surat (al-Hujarat: 6).
2. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadis, walau penerimanya sebelum baligh. Kaitannya dengan masalah ini, disandarkan pada hadis Nabi yang berbunyi: “Hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai ia sembuh, orang yang tidur sampai ia bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi”. (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
3. Adalah
yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaran, menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
4. Dhabit
Dhabit ialah teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.
Jalannya mengetahui ke-dhabit-an perawi dengan jalan I’tibar terhadap berita-beritanya dengan berita-berita yang tsiqat dan memberikan keyakinan.
Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana diatas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung, hadis yang disampaikan itu tidak syadz, tidak ganjil dan tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang lebih kuat ayat-ayat al-Qur’an.

VII. HADIS DITINJAU DARI JUMLAH RAWINYA (KUANTITASNYA)
Menurut kebanyakan ulama ushul dan ulama kalam hadis ditinjau dari segi kuantitasnya dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad.
1. Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi’ yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya.
Sedangkan pengertian hadis mutawatir menurut istilah adalah: “Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul suatu hadis dapat ditetapkan sebagai hadis mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
2) Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqah pertama dengan thabaqah berikutnya
3) Berdasarkan tanggapan panca indra.

Pembagian Hadis Mutawatir:
a. Mutawatir Lafzhi
Hadis mutawatir lafzhi adalah hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzhi.
b. Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi adalah hadis yang ma’nanya mutawatir, tetapi lafaznya tidak. Ada juga yang mendefinisikan adalah hadis yang dinukilkan oleh sejumlah orang yang mustahil mereka sepakat untuk berdusta atau karena kebetulan. Mereka menukilkan dalam berbagai bentuk, tetapi dalam satu masalah atau mempunyai titik persamaan.
c. Mutawatir Amali
Adapun yang dimaksud hadis mutawatir amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara ummat islam, bahwa nabi saw mengerjakannya, ,menyuruhnya, atau selain dari itu.

2. Hadis Ahad
Kata al-ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan hadis ahad menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi mutawatir, baik perawi itu satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi mutawatir.

Pembagian Hadis Ahad:
1. Hadis masyhur
Secara etimologis, term masyhur berasal dari Masyhur menurut bahasa, ialah al-intisyar wa al-dzuyu’ sesuatu yang sudah tersebar dan populer. atau Syahara, yasyharu, syahran, yang berarti al-ma’ruf baina al-nas (yang terkenal atau populer dikalangan manusia).
Masyhur juga berarti al-intisyar wa al-zuyu’, yaitu sesuatu yang sudah tersebar dan populer. Dengan pengertian diatas maka hadis masyhur secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “Hadis yang terkenal”.
Sedangkan secara terminologis, menurut ulama ushul, hadis masyhur didefinisikan sebagai: “Hadis yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran bilangan mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka”.
Hadis masyhur, dilihat dari segi kualitasnya dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: hadis masyhur shahih, ahad, hasan dan dha’if.

2. Hadis ‘Aziz
Secara etimologis, term ‘aziz berasal dari ‘izza, ya’izzu yang berarti: qalla (sedikit) atau nadara (jarang terjadi). Sedangkan secara terminologis, hadis ‘aziz dapat didefinisikan sebagai: “Hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi atau lebih dalam satu tabaqatnya”.
3. Hadis Gharib
Secara etimologis, gharib berasal dari kata gharaba, yaghribu yang berarti al-mufarid, yaitu menyendiri atau ba’id ‘an wathanih (jauh dari tanah airnya). Gharib juga berarti “Terasing atau jauh dari tempat tinggalnya”.
Sedangkan secara terminologis, Nur Al-Din ‘Itr mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut: “Hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dan meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya”.
Macam-macam hadis gharib, yaitu: hadis gharib muthlaq dan hadis gharib nisbi.

VIII. HADIS DITINJAU DARI SANDARAN AKHIRNYA

IX. HADIS DITI NJAU DARI KUALITASNYA
1. Hadis Shahih
Secara etimologis, term shahih merupakan lawan dari term saqim yang berarti sakit. Term ini juga telah diserap dalam bahasa indonesia dengan makna: sah, benar, sempurna, sehat, dan pasti. Dengan pengertian kebahasaan ini, maka hadis shahih secara sederhana dapat didefinisikan sebagai “Hadis yang tidak sakit atau memiliki cacat”. Artinya, hadis itu sah, benar dan sempurna.
Sedangkan secara terminologis, hadis shahih dapat didefinisikan sebagai “Hadis yang sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh perawi yang adil, dan dhabit sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak ber ‘illat”.

Syarat-syarat Hadis Shahih:
a) Sanadnya bersambung
b) Perawinya bersifat adil
c) Perawinya bersifat dhabit
d) Tidak syadz (janggal)
e) Tidak ber ‘illat

2. Hadis Hasan
Secara bahasa, hasan berarti al-jamal, yaitu indah. Hasan juga dapat berarti sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Menurut imam Al-Turmuzhi hadis hasan adalah: “Setiap hadis yang diriwayatkan dan tidak terdapat pada sanadnya perawi yang pendusta, dan hadis tersebut tidak syadz, serta diriwayatkan pula melalui jalan yang lain”.
Perbedaan hadis hasan dengan hadis shahih adalah, pada hadis shahih daya ingat perawinya sempurna, sedang pada hadis hasan daya ingat perawinya kurang sempurna.

Kriteria Hadis Hasan Ada Lima, Yaitu:
a) Sanadnya bersambung
b) Perawinya adil
c) Perawinya dhabit, tetapi ke-dhabitannya dibawah kedhabitan perawi hadis shahih.
d) Tidak terdapat kejanggalan atau syadz
e) Tidak ber ’illat

3. Hadis Dha’if
Secara etimologis, term dha’if berasal dari kata dhuf’un yang berarti “lemah”. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Sedangkan secara terminologis, menurut Imam Nawawi mendefinisikan hadis dha’if dengan: “Hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis hasan”. Dan menurut Nur Al-Din ‘Itr adalah: “Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul”.

Dalam keterangan lain, Para ulama ahli hadis juga membagi hadis ditinjau dari segi kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis mardud.
1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa adalah ma’khuz (yang diambil) dan mushaddaq (yang dibenarkan atau diterima). Sedangkan menurut istilah ialah: “Hadis yang telah sempurna padanya, syarat-syarat penerimaan”.
Syarat-syarat penerimaan suatu hadis menjadi hadis yang maqbul berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya, tidak syadz dan tidak ber ’illat.
Dilihat dari ketentuan-ketentuan diatas maka hadis maqbul dapat digolongkan menjadi dua, yaitu hadis shahih dan hasan.

2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti “yang ditolak” atau “tidak diterima”. Sedangkan mardud menurut istilah ialah: “Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul”.
Tidak sepenuhnya persyaratan dimaksud, bisa terjadi pada sanad dan matan. Para ulama mengelompokkan hadis jenis ini menjadi dua yaitu hadis dha’if dan hadis maudhu.

X. HADIS DITINJAU DARI METODE PERIWAYATANNYA
1. Periwayatan Lafzhi
Periwayatan lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matan nya persis seperti yang diwurudkan Rasul saw. Ini hanya bisa dilakukan apabila mereka hafal benar apa yang disabdakan Rasul saw.
Kebanyakan sahabat menempuh periwayatan hadis melalui jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadis sesuai dengan redaksi dari Rasul saw. Bukan menurut redaksi mereka. Sebagian dari mereka secara ketat melarang meriwayatkan hadis dengan maknanya saja, hingga satu huruf atau satu katapun tidak diganti.

2. Periwayatan Maknawi
Diantara para sahabat lainnya ada yang berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat, karena tidak hafal persis seperti yang diwurudkan Rasul saw, boleh meriwayatkan hadis secara maknawi. Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadis yang matan nya tidak persis sma dengan yang didengarnya dari Rasul saw, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan Rasulullah saw, tanpa ada perubahan sedikitpun.

XI. MENGETAHUI HADIS DHA’IF
secara etimologis, term dha’if berasal dari kata dhuf’un yang berarti “lemah”. Dengan makna bahasa ini, maka yang dimaksud hadis dha’if adalah hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.
Sedangkan secara terminologis, menurut Imam Nawawi mendefinisikan hadis dha’if dengan: “hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis hasan”. Dan menurut Nur Al-Din ‘Itr adalah: “Hadis yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadis maqbul”
.
 Pembagian Hadis Dha’if
Berdasarkan penelitian para ulama hadis, bahwa ke-dha’ifan suatu hadis bisa terjadi pada tiga tempat, yaitu pada sanad, pada matan, dan pada perawinya. Dari ketiga bagian ini, lalu mereka membagi hadis kedalam beberapa macam hadis dha’if, yang jumlahnya sangat banyak sekali.

A. Dha’if Ditinjau Dari Segi Persambungan Sanad
1. Hadis Mursal
Secara terminilogis, mursal diambil dari kata irsal yang berarti melepaskan. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyebut suatu hadis, karena orang yang meriwayatkannya melepaskan hadis itu langsung kepada nabi, tanpa menyebutkan rawinya, yakni tidak menyebutkan seseorang yang pertama mengeluarkan hadis itu.
2. Hadis Munqati’
Menurut muhammad Al-Sabag, hadis munqati’ adalah: ”Hadis yang gugur pada sanadnya seorang perawi, atau pada sanad tersebut disebutkan seseorang yang tidak dikenal namanya”.
3. Hadis Mu’dhal
Secara etimologis, kata mu’dhal berarti ”sesuatu yang sulit dicari” atau ”sesuatu yang sulit difahami”. Disebut hadis mu’dhal karena seolah-olah hadis itu menyulitkan, sehingga orang yang meriwayatkannya tidak memperoleh manfaat.
4. Hadis Mu’allaq
Hadis mu’allaq adalah ”Hadis yang dihapus dari awal sanadnya seorang perawi atau lebih secara berturut-turut”.
5. Hadis Mudallas
Hadis mudallas adalah: ”Menyembunyikan cacat dalam sanad dan menampakannya pada lahirnya seperti baik”.

B. Dha’if Ditinjau Dari Segi Sandarannya
1. Hadis Mauquf
Hadis mauquf adalah ”hadis yang diriwayatkan dari para sahabat, baik berupa perkataan, perbuatan atau tawrirnya, periwayatannya baik bersambung atau tidak”. Atau ”hadis yang disandarkan kepada sahabat”.
2. Hadis Maqtu’
Hadis maqtu’ adalah hadis yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya, baik perkataan maupun perbuatannya”.

C. Dha’if Ditinjau Dari Segi Cacatnya Perawi
Yang dimaksud cacat pada perawi adalah terdapatnya kekurangan atau cacat (jarh) pada diri perawi, baik dari segi keadilannya, agama, ingatan, hafalan dan ketelitiannya.
1. Hadis Matruk
Hadis matruk adalah suatu hadis yang perawinya mempunyai cacat al-tuhmah bi al-kadzib, tertuduh dusta, yaitu peringkat kedua terburuk sesudah al-kadzib, pembohonh atau pendusta. Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan hadis matruk adalah hadis yang terdapat pada sanadnya perawi yang tertuduh dusta.
2. Hadis Munkar
Hadis munkar adalah hadis yang perawinya memiliki cacat dalam kadar sangat kelirunya atau nyata kefasikannya.
3. Hadis Mu’allal
Hadis mu’allal adalah hadis yang perawunya cacat karena al-wahm, yaitu banyaknya dugaan atau sangkaan yang tidak mempunyai landasan yang kuat.
4. Hadis Mudraj
Hadis mudraj adalah hadis yang terdapat padanya tambahan yang bukan bagian dari hadis tersebut.
5. Hadis Maqlub
Hadis maqlub adalah mengganti suatu lafadz dengan lafadz yang lain pada sanad hadis atau pada matannya dengan cara mendahulukan atau mengakhirkannya.
6. Hadis Mudhtharib
Hadis mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dalam beberapa bentuk yang berlawanan yang masing-masing sama-sama kuat.
7. Hadis Mushahhaf
Hadis mushahhaf adalah mengubah kalimat yang terdapat pada suatu hadis menjadi kalimat yang tidak diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah, baik secara lafadz maupun maknanya.