Jumat, 25 Juni 2010

JENIS-JENIS AIR

Resume Kitab “AL FIQHUL ISLAMI WA’ADILLATUHU”
(Hal 113 – 128)
Tentang: JENIS-JENIS AIR
Oleh: Abdul Asep (084211001)

I. PEMBAHASAN
JENIS-JENIS AIR:
1. Air Yang Suci Dan Mensucikan (Air Mutlaq)
Yaitu Air yang dengan sendirinya bersifat suci dan dapat mensucikan yang lain, seperti air hujan, mata air, air sungai dan jenis air yang lain yang memang masih dalam bentuknya yang asli. Artinya belum terjadi perubahan dalam sifat-sifat air, seperti berubah dalam warna, bau, dan rasanya. Baik berubah itu karena tercampur dengan sesuatu yang najis, atau yang suci. Tidak pula air yang sudah digunakan (musta’mal).
Berbeda dengan mazhab Hanafi, mazhab-mazhab yang lain menggolongkan air yang telah mengalami perubahan bentuk, seperti menjadi butiran garam, atau berupa uap air, sebagai air yang suci dan mensucikan. Namun mazhab Hanafi mengatakan bahwa air yang telah mengalami perubahan bentuk tadi hanya dihukumi suci tapi tidak dapat mensucikan, sehingga tidak dapat digunakan untuk menghilangkan hadats ( kotor yuridis ), namun bisa untuk menghilangkan khobats ( kotor empiris ).
Mengenai perubahan yang terjadi dalam air, dapat dikelompokkan atas;
A. Perubahan Yang Tidak Berpengaruh Pada Kesucian Air
Ulama ahli Fiqh sepakat, bahwa segala sesuatu yang berpotensi merubah sifat-sifat air, akan tetapi tidak sampai melepaskan sifat-sifat air tersebut (dari sifat-sifat semula) maka tidak akan menghilangkan kesucian air tersebut, artinya air tetap dihukumi suci dan mensucikan. Seperti contoh, Berubahnya air karena mengendap terlalu lama sehingga mengalami perubahan dalam bau, warna, ataupun rasanya, atau juga perubahan itu terjadi karena tercampur dengan sesuatu yang memang tidak dapat dipisahkan dari air, atau memang habitatnya di air, seperti ganggang, lumut dlsb.
Juga ketika air berubah karena tercampur dengan sesuatu yang memiliki kontradiksi dalam kandungan zatnya, sehingga tidak dapat menyatu, seperti jenis minyak-minyak ataupun jenis kayu yang memiliki kandungan tersebut, meskipun menimbulkan perubahan bau dalam air, semisal menjadi wangi atau yang lain.
Masih dalam kategori ini (perubahan yang tidak berpengaruh pada kesucian air) adalah air yang mengalami perubahan dalam baunya dikarenakan terdapat bangkai yang telah membusuk dan berada di dekat air (asal tidak sampai menyentuh air) juga ketika perubahan itu dikarenakan tercampur dengan sesuatu yang sangat sulit dijaga untuk tidak sampai jatuh pada kolam air tersebut seperti dedaunan.
Dalam pembahasan ini telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ahli Fiqh sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi: Boleh menggunakan air untuk bersuci meski air tersebut telah bercampur dengan sesuatu yang suci dan berbentuk padat, selagi perubahan itu tidak karena dimasak, baik berubah sebagian ataupun keseluruhan dari sifatnya.
2. Mazhab Malikiy: Perubahan yang tidak sampai berpengaruh pada kesucian air, adalah perubahan yang disebabkan oleh:
a. Mengendap terlalu lama
b. Tercampur sesuatu yang terbawa arus air
c. Sesuatu yang habitatnya di air
d. Benda yang secara umum tidak mampu merubah sifat air secara total
e. Berdekatan tapi tidak sampai bercampur dengan air
f. Perubahan karena tercampur debu atau garam dan sejenisnya yang bahan bakunya dari bumi, seperti tembaga, kapur, dan karbit, meskipun dicampur dengan sengaja
g. Tercampur oleh sesuatu yang sulit menjaga nya agar tidak sampai jatuh kedalam air

Ringkasan:
Jika air tercampur sesuatu yang suci dan tidak sampai merubah salah satu sifatnya, baik rasa, bau dan warnanya, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan. Namun jika mengalami perubahan dalam sifat sifatnya, maka dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat antara para imam mazhab, Imam Maliki, Syafii dan Hambali berpendapat bahwa air itu tetap suci tapi tidak mensucikan. Sementara menurut Imam Hanafi tetap suci dan mensucikan, selagi tidak karena dimasak atau tidak sampai menghilangkan sifat air atau jenisnya.
Air yang mengalami perubahan namun boleh / sah digunakan untuk berwudlu ada empat;
1. Nama air yang berbeda-beda karena disandarkan pada wadah atau tempat air itu berada (mengalir).
2. Perubahan yang terjadi karena sulitnya menjaga air itu dari benda-benda tertentu, seperti ganggang, lumut, dedaunan dan tumbuhan lain yang hidup di air.
3. Air yang tercampur dengan sesuatu yang memiliki kecocokan dalam dua sifat pokok air (yaitu: suci dan dapat mensucikan) seperti tercampur dengan debu.
4. Air yang mengalami perubahan dalam sifatnya, dikarenakan sesuatu yang berada di dekat air, atau tidak bisa menyatu dengan air


B. Air Yang Suci Dan Mensucikan Tapi Makruh Digunakan
Menurut pandangan mazhab Hanafi, Yaitu air yang sedikit dan akan diperuntukkan untuk minum hewan, semisal kucing yang telah jinak, bukan hewan buas dan najis, sementara masih terdapat air yang lain

2. Air Yang Suci Tapi Tidak Mensucikan
Yaitu air yang tidak dapat digunakan untuk sesuci seperti untuk berwudlu atau mandi, meskipun menurut imam Hanafi boleh menggunakan air ini untuk menghilangkan najis, baik di pakaian ataupun di tubuh. Air ini terbagi dalam tiga bagian besar;
1) Air yang tercampur sesuatu yang suci yang dapat merubah salah satu sifatnya dan melepaskan sifat-sifat dasar air. Adakalanya sesuatu ini berupa benda padat, maupun benda cair.

2) Air yang sedikit dan telah digunakan untuk menghilangkan hadas (Musta’mal) Ukuran sedikit dalam terminologi ini adalah memiliki volume kurang dari 270 Liter.

Sedangkan yang dimaksud Musta’mal, dalam hal ini telah terjadi perbedaan pendapat antara para imam mazhab sebagai berikut:
 Mazhab Hanafi: Yaitu air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadas, seperti untuk berwudlu, atau mandi. Dalam hal ini air dihukumi musta’mal jika air telah meninggalkan anggota yang dibasuh, namun air ini dapat digunakan untuk menghilangkan khobats, seperti untuk menghilangkan najis.
 Mazhab maliki: Yaitu air yang telah digunakan untuk menghilangkan hadas seperti wudlu atau mandi, baik basuhan dalam wudlu yang wajib, maupun basuhan sunnah mandi wajib, sunnah, atau untuk memandikan mayyit, selagi tidak mengalami perubahan karena pemakaian tersebut.
Menurut pendapat ini, air yang musta’mal dihukumi suci dan mensucikan serta tidak dimakruhkan dalam keadaan tertentu ketika untuk menghilangkan najis, akan tetapi makruh digunakan untuk menghilangkan hadats atau membasuh basuhan yang sunnah ketika masih terdapat air yang lain ( yang belum musta’mal ).
 Mazhab Syafi’i: air yang sedikit dan telah digunakan dalam membasuh basuhan fardu baik dalam wudlu ataupun mandi, sementara air bekas basuhan sunnah tidak dihukumi musta’mal, menurut Qoul Jadied.
Air musta’mal yang suci dan dapat digunakan untuk menghilangkan najis, harus memenuhi tiga Syarat;
1) Air harus sampai atau mengaliri benda yang terkena najis, apabila air itu sedikit (tidak sebaliknya, barang yang terkena najis yang dimasukkan dalam air).
2) Ketika telah dipisahkan kembali antara air dan benda yang terkena najis, air tetap dalam keadaan suci dengan indikasi tidak terjadi perubahan dalam sifat air tersebut, sementara benda tersebut telah menjadi suci.
3) Tidak terjadi tambahan dalam volume air, setelah benda yang dibersihkan diambil, dan menyisakan kotoran yang bercampur dengan air.
Contoh kasus:
Jika air mengalami perubahan atau volume air bertambah (karena telah digunakan untuk membersihkan benda yang terkena najis), atau tempat itu masih terdapat warna dan baunya najis, atau hanya meninggalkan rasanya saja, sementara tidak sulit untuk menghilangkan sifat-sifat najis tersebut, maka hukum air Musta’mal dalam kasus ini adalah tetap suci namun tidak mensucikan, Hal ini menurut Qoul Jadeid, sehingga tidak boleh digunakan untuk berwudlu ataupun mandi.
Apabila air musta’mal dikumpulkan sehingga volumenya telah sampai pada batasan dua qullah atau 270 Liter lebih, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan.
 Mazhab Hambali: Yaitu air yang telah digunakan untuk hadats besar atau hadats kecil, menghilangkan najis (semisal najis Mughollazoh ) akan tetapi air itu bekas basuhan yang bisa menghilangkan najis tersebut, yaitu basuhan ketujuh, sementara tidak mengalami perubahan salah satu sifatnya.
Hukum air musta’mal menurut pendapat ini adalah dapat menghilangkan hadats tapi tidak dapat menghilangkan khobats, ini sama dengan konklusi hokum dari Syafi’I
Sementara ketika air musta’mal dikumpulkan dan telah mencapai volume air dua qullah (270 Liter), maka terdapat dua pendapat;
1. Tetap dihukumi sebagaimana aslinya (artinya tetap dihukumi musta’mal)
2. Dihukumi suci dan mensucikan sebagaimana sabda Nabi: Apabila air telah sampai batasan dua qullah (270 Liter), maka tidak mengandung khobats.
Namun ketika air musta’mal bercampur dengan air yang bukan musta’mal sehingga sampai batasan dua qullah, maka air ini akan dihukumi suci dan mensucikan.

3) Jenis air dari tumbuh tumbuhan, seperti air yang diambil dari bunga, atau buah buahan, seperti air bunga mawar, atau bunga bunga yang lain, air semangka atau dari buah buahan yang lain, maka ini semua masuk dalam kategori air yang suci tapi tidak mensucikan.


3. Air Yang Terkena Najis (Muta Najjis)
Yaitu air yang terkena najis yang tidak ma’fu (dima’afkan: seperti sedikitnya kotoran), sementara airnya tenang (tidak mengalir) dan tidak sampai batasan dua qullah, Adapun ketika air itu mengalir, maka dapat dihukumi najis apabila terdapat bekasnya najis tersebut yang bisa terlihat dari warnanya, tercium baunya dan terasa lain.
Dengan demikian air yang terkena najis itu terbagi dalam dua golongan;
1. Air yang suci namun tidak sampai batasan dua qulllah dan terkena najis, meskipun tidak sampai merubah salah satu dari tiga sifat air.
2. Air yang suci dan telah sampai batasan dua qullah, bahkan lebih, yang terkena najis sehingga menimbulkan perubahan dalam salah satu sifatnya.
Air mutanajjis menurut sebagian besar ulama ahli Fiqh tidak dapat dimanfaatkan khususnya dalam masalah sesuci, kecuali untuk menberi minum hewan atau menyirami tumbuhan dan juga dalam keadaan dlorurot, seperti disaat haus dahaga.

 Mengenai Sedikit Dan Banyaknya Air
Telah terjadi perbedaan pendapat antara ulama ahli fiqh dalam membicarakan batasan sedikit dan banyaknya air:
1. Abu Hanifah berpendapat bahwa ketika seseorang menggerakkan salah satu dari kedua ujung air, maka gerakan itu tidak akan sampai pada ujung berikutnya, maka ini dinamakan air dalam kategori banyak, sementara air sedikit itu apabila tempat air sisi sisinya kurang dari 10 zdiro’.
2. Imam Malik justru tidak membatasi ukuran untuk air dalam kategori banyak, yang ada hanya air yang dalam ukurannya dapat digunakan untuk berwudlu atau mandi, atau kurang dari itu, maka akan dihukumi makruh penggunaanya.
3. Sementara Imam Syafi’i dan Hambali memberi batasan dalam hal ini dengan menggunakan istilah dua qullah Apabila air yang telah sampai batasan dua qullah, kemudian kejatuhan najis, baik berbentuk padat, maupun cair sementara tidak sampai merubah sifat air, warna, bau, atau rasanya, maka air tersebut dihukumi suci dan mensucikan.
4. Ibnul Munzir berkata: telah terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama bahwa air sedikit maupun banyak ketika terkena najis yang dapat merubah rasa, warna, dan baunya, maka air itu tetap dihukumi najis, selama masih dalam keadaan seperti itu.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar